Sejarah Suku KARO
Jumat, 06 September 2013
Kita terlebih dahulu diajak kembali kira-kira 100 tahun yang lalu. Kondisi kehidupan masyarakat Karo pada saat itu masih cukup sederhana dalam segala aspek. populasi penduduk belum ramai, perkampungan masih kecil, ada dua atau tiga rumah adat waluh jabu ditambah beberapa rumah sederhana satu dua. Kalau sudah ada sepuluh rumah adat baru dapat dikatakan perkampungan tersebut ramai.Sarana dan prasarana jalan belum ada, hanya jalan setapak yang menghubungkan satu kampung dengan kampung yang lain. Kegiatan ekonomi dan perputaran uang hanya baru sebagian kecil saja. Hanya pedagang yang disebut dengan “Perlanja Sira” yang sesekali datang untuk berdagang secara barter (barang tukar barang)Pekerjaan yang dilakukan hanyalah ke sawah dan ke ladang (kujuma kurumah), ditambah menggembalakan ternak bagi pria dan menganyam tikar bagi wanita. Pemerintahan yang ada hanya sebatas pemerintahan desa. Kepercayaan yang ada adalah aninisme, dina-misme yang disebut “perbegu”. Alat dapur yang dipakai masih sangat sederhana, priuk tanah sebagai alat memasak nasi dan lauk pauknya, walau ada juga yang telah memasak dengan priuk gelang-gelang atau priuk tembaga/besi, tempat air kuran.Namun demikian kehidupan berjalan terus, meneruskan generasi di_laksana_kan dengan orang yang sudah dianggap dewasa berkeluarga, dikatakan dewasa bagi seorang pria adalah ketika dia telah dapat membuat ukat, kuran atau membuka ladang, bagi wanita telah dapat menganyam tikar dan memasak nasi dan lauk pauk.Proses Pernikahan
Anak Perana yang ingin menikah terlebih dahulu mencari seorang singuda-nguda, yang dianggapnya cocok, tidak sumbang, tetapi harus sesuai dengan adat Karo. Melakukan komunikasi melalui perantaraan, sampai ada kesediaan siwanita menerima kehadirannya.
Jika sudah saling menyukai, diteruskan dengan membawa siwanita “Nangkih” ke rumah anak beru si pria. Sebagi tanda melalui perantara diberikan ‘Penading” kepada orang tua si wanita. Orang tua si wanita seolah-olah kaget menerimanya, seakan mereka tidak tahu dan tidak menyetujuinya, dan seterusnya. Namun demikian dua atau tiga hari kemudian beberapa orang ibu-ibu menemani ibu si wanita menghantarkan nasi/makanan kepada anaknya. Melakukan pembicaraan dengan pihak pria mengenai kelanjutannya, dan seterusnya.
Setelah dilakukan pembicaraan dengan yang baik antara kedua belah pihak, selanjutnya pihak pria mendatangi pihak keluarga si wanita bersama sembuyak, senia dan anak berunya, demikian pula pihak wanita bersama sembutyak, senina dan anak berunya telah bersiap menyambut kedatangan pihak pria. Yang datang terbatas, cukup membawa satu atau dua ekor ayam untuk dugulai dan beras secukupnya. Biasanya malam setelah selesai makan dilaksanakan pembicaraan atapun musyawarah (runggu) isinya hanya satu yaitu meminta kesediaaan dengan senang hati dari orang tua si wanita dalam keinginan anaknya menikah, tentunya ikut juga dukungan dari anak beru, bila sudah bersedia dan dengan senang hati orang tua siwanita (kalimbubu) acara tersebut telah selesai. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, keesokan harinya pihak si pria beserta kedua calon pengantin dapat langsung pulang.
Biasanya acara ini dilaksanakan pada saat pekerjaan tidak begitu sibuk, padi telah dipanen sekali. Pembicaraan ini harus dihadiri lebih lengkap dan lebih penting. Singalo bere-bere harus dipanggil, lengkap sangkep ngeluh. Makanan lebih banyak dibawa (boleh kambing atau babi), tidak lagi hanya ayam. Melihat bentuk pertemuan dan kesanggupan dan kehormatan pihak yang datang. Waktunya boleh malam hari atau pagi menjelang siang hari. Banyaknya yang hadir kira-kira memenuhi rumah adat ataupun sekitar 2 -3 kaleng beras untuk dimasak. Dalam acara ini yang dibicarakan adalah mengenai pelaksanaan pesta adat, kapan waktunya, berapa yang harus ditanggung dan berapa utang adat yang harus dibayarkan. Tingkatan Pesta ada tiga pilihan yaitu Singuda pesta adatnya dilakukan dirumah saja, Sintengah bila kumpul seluruh sanak family, Sintua, bila ditambah pengantin rose, (berpakaian adat lengkap) bergendang (musik tradisional) dan memotong lembu atau kerbau. Tanggungan pihak pengantin pria, seperti pembayaran utang adat tentunya disesuaikan dengan tingkatan pestanya adatnya. Dikarenakan telah didapat kesepakatan untuk melaksanakan pesta adat, maka ditanyalah kalimbubu singalo bere-bere, apa yang akan menjadi hadiah perkawinan (luah/pemberian) yang akan diserahkan sebagai tanda restu kepada beberenya yang akan menikah.
Ini adalah tahapan terakhir mensyahkan telah diselesaikan adat pernikahan. Telah syah menjadi satu keluarga yang baru. Semua akan berkumpul pada pesta adat seperti yang telah disepakati bersama. Dahulu tempat pesta tidak ada dirumah pasti tidak muat jadi pesta dilaksanakan di tempat lapang atau dibawah kayu rindang. Bila pada saat pesta panas terik maka anak beru kedua belah pihak akan mendirikan tempat berteduh yang terbuat dari kayu, daun rumbia atau daun/pelepah kelapa. Tikar tempat duduk dan kayu bakar telah dipersiapkan oleh pihak siwanita. Dikarenakan pada saat itu fasilitas apapun tidak ada, maka diminta kepada penduduk desa untuk memasak makanan, masing-masing 2-3 tumba berikut dengan sumpitnya (tempat nasi) dan membawanya ketempat pesta dilaksanakan. Lauk pauk (daging) langsung dibagi lima, dua bagian untuk pihak pria, dua bagian untuk pihak wanita dan satu bagian untuk singalo bere-bere. Jadi jelaslah bagi kita bahwa ketiga komponen inilah yang berperan penting. Sukut si empo (pihak pria) bersama sangkep nggelunya, begitu juga pihak wanita. Tidak ketinggalan singalo bere-bere bersama sangkep nggeluhnya inilah yang disebut dengan Kalimbubu Si Telu Sedalanen (hal ini akan kita bicarakan dilain waktu)
Rabu, 04 September 2013
Dasar Ertutur di Adat Karo
Dasar Ertutur
Agar kita bisa ertutur maka kita terlebih dulu harus mengerti beberapa identitas kita berikut ini:
1. Merga / Beru
Marga atau clan yang pada laki-laki disebut Merga, yang berarti meherga, mahal, serta pada perempuan disebut Beru, yang berasal dari kata mberu sebuah kata yang merupakan gambaran dari sebuah keanggunan dan kecantikan dalam masyarakat Karo.
Merga/ Beru ini diperoleh dari Ayah. Clan ayah inilah yang menjadi Merga bagi laki-laki dan Beru bagi perempuan.
Dalam Kebudayaan Karo, ada lima clan, yang populer disebut Merga Silima, khususnya lebih populernya setelah adanya Keputusan Kongres Kebudayaan Karo, 3 Desember 1995 di Sibayak International Hotel Berastagi merekomendasikan, agar pemakaian merga berdasarkan “merga silima”, yaitu :
1. Karo-karo
2. Ginting
3. Tarigan
4. Perangin-angin
5. Sembiring
Selanjutnya, lima merga ini diikuti dengan submarga yang memiliki pembagian sub merga masing-masing.
2. Bebere/ Bere-bere
Bebere ini kita peroleh dari ibu kita. Beru ibu kita ini menjadi bere-bere kita.
3. Kempu
Perkempun ini datang dari Nenek yang melahirkan Ibu kita. Beru Nininta (nenek) dari Ibu menjadi Perkempun kita.
4.Binuang
Binuang ini datang dari Nini (nenek) yang melahirkan Ayah kita. Beru Nini dari Ayah ini menjadi Binuang kita.
5. Kampah
Kampah ini datang dari Nini Bulang (kakek) dari Ayah kita. Bebere Nini Bulang ini menjadi Kampah kita.
6. Soler
Soler datang dari Nini Bulang dari Ibu kita. Bebere Bulang dari Ibu ini menjadi Soler kita.
Hal mendasar ini menjadi yang harus diketahui masing-masing individu untuk bisaErtutur dengan orang lain. Identitas dasar ini menjadi hal yang akan terus dipakai, jadi perlu untuk mengetahuinya dengan baik.
Sumber : http://jamburta.blogspot.com/2011/09/dasar-ertutur.html
SILSILAH MARGA SUKU BATAK KARO
SILSILAH MARGA SUKU BATAK KARO
SILSILAH MARGA SUKU BATAK KARO
Suku Karo memiliki marga atau disebut merga. Marga dalam Suku Karo terdiri dari lima kelompok marga yang disebut merga silimayang terdiri dari :
1.Ginting
2.Karo-Karo
3.Tarigan
4.Sembiring
5.Perangin-angin
Kelima merga ini memilki sub merga,antara marga yang sama tidak dibenarkan terjadi perkawinan karena mereka satu keluarga dan memiliki nenek moyang yang sama kecuali pada marga sembiring , marga diwariskan kepada anak laki-laki.
1 . Merga Ginting dan cabang-cabangnya
- Ginting Munte di Kutabangun, Ajinembah, Kubu, Dokan, Tanggung, Munte, Rajatengah, dan Bulan Jahe.
- Ginting Babo di Gurubenua, Munte, dan Kutagerat.
- Ginting Sugihen di Sugihen, Juhar, dan Kutagunung.
- Ginting Gurupatih di Buluh Naman, Sarimunte, Naga, dan Lau Kapur.
- Ginting Ajartambun di Rajamerahe.
- Ginting Capah di Bukit dan Kalang.
- Ginting Beras di Laupetundal.
- Ginting Garamata di (Simarmata) Raja Tengah, Tengging.
- Ginting Jadibata di Juhar.
- Ginting Suka Ajartambun di Rajamerahe.
- Ginting Manik di Tenggin
- Karokaro Sinulingga di Lingga, Bintang Meriah, dan Gunung Merlawan.
- Karokaro Surbakti di Surbakti dan Gajah.
- Karokaro Kacaribu di Kutagerat dan Kerapat
- Karokaro Sinukaban di Pernantin, Kabantua, Bintang Meriah, Buluh Naman, dan L. Lingga.
- Karokaro Barus di Barus Jahe, Pitu Kuta.
- Karokaro Simbulan di Bulanjulu dan Bulanjahe.
- Karokaro Jung di Kutanangka, Kalang, Perbesi, dan Batukarang.
- Karokaro Purba di Kabanjahe, Berastagi, dan Lau Cih (Deli Hulu).
- Karokaro Ketaren di Raya, Ketaren Sibolangit, dan Pertampilen.
- Karokaro Gurusinga di Gurusinga dan Rajaberneh.
- Karokaro Kaban di Kaban dan Sumbul.
- Karokaro Sinuhaji di Ajisiempat.
- Karokaro Sekali di Seberaya.
- Karokaro Kemit di Kuta Bale.
- Karokaro Bukit di Bukit dan Buluh Awar.
- Karokaro Sinuraya di Bunuraya, Singgamanik, dan Kandibata.
- Karokaro Samura di Samura
- Karokaro Sitepu di Naman dan Suka Nalu
- Tarigan Sibero di Juhar, Kutaraja, Keriahen, Munte, Tanjung Beringin, Selakar, dan Lingga.
- Tarigan Tambak di Kebayaken dan Sukanalu.
- Tarigan Silangit di Gunung Meriah.
- Tarigan Tua di Pergendangen.
- Tarigan Tegur di Suka.
- Tarigan Gersang di Nagasaribu dan Berastepu.
- Tarigan Gerneng di Cingkes (Simalungun).
- Tarigan Gana-gana di Batukarang.
- Tarigan Jampang di Pergendangen.
- Tarigan Tambun di Rakutbesi, Binangara, Sinaman dll.
- Tarigan Bondong di Lingga.
- Tarigan Pekan (Cabang dari Tambak) di Sukanalu
- Tarigan Purba di Purba (Simalungun
- Sembiring Kembaren di Samperaya dan hampir di seluruh urung Liang Melas.
- Sembiring Sinulaki di Silalahi.
- Sembiring Keloko di Pergendangen.
- Sembiring Sinupayung di Juma Raja dan Negeri
- Sembiring Colia di Kubucolia dan Seberaya.
- Sembiring Pandia di Seberaya, Payung, dan Beganding.
- Sembiring Gurukinayan di Gurukinayan.
- Sembiring Berahmana di Kabanjahe, Perbesi, dan Limang.
- Sembiring Meliala di Sarinembah, Munte Rajaberneh, Kedupen, Kabanjahe, Naman, Berastepu, dan Biaknampe.
- Sembiring Pande Bayang di Buluh Naman dan Gurusinga.
- Sembiring Tekang di Kaban.
- Sembiring Muham di Susuk dan Perbesi.
- Sembiring Depari di Seberaya, Perbesi, dan Munte.
- Sembiring Pelawi di Ajijahe, Perbaji, Kandibata, dan Hamparan Perak (Deli).
- Sembiring Busuk di K
- Sembiring Sinukapar di Pertumbuken, Sidikalang(?) Sarintono.
- Sembiring Keling di Juhar dan Rajatengah.
- Sembiring Bunuh Aji di Sukatepu, Kutatonggal, dan Beganding
- Peranginangin Namohaji di Kutabuluh.
- Peranginangin Sukatendel di Sukatendel.
- Peranginangin Mano di Pergendangen.
- Peranginangin Sebayang di Perbesi, Kuala, gunung dan Kuta Gerat.
- Peranginangin Pencawan di Perbesi.
- Peranginangin Sinurat di Kerenda.
- Peranginangin Perbesi di Seberaya.
- Peranginangin Ulunjandi di Juhar.
- Peranginangin Penggarus di Susuk.
- Peranginangin Pinem di Serintono (Sidikalang).
- Peranginangin Uwir di Singgamanik.
- Peranginangin Laksa di Juhar.
- Peranginangin Singarimbun di Mardinding , Kutambaru dan Temburun.
- Peranginangin Keliat di Mardinding.
- Peranginangin Kacinambun di Kacinambun.
- Peranginangin Bangun di Batukarang.
- Peranginangin Tanjung di Penampen dan Berastepu.
- Peranginangin Benjerang di Batukarang
Pada pra- sejarah terjadi perpindahan bangsa- bangsa termasuk di Asia yang khusus ke Indonesia datang dari Asia Selatan dan Tenggara . Percampuran darah terjadi antar bangsa- bangsa tersebut dengan penduduk yang telah bermukim sebelumnya di Nusantara ini merupakan nenek moyang kita dan pada umumnya yang mendiami pesisir sebagai orang bahari.
Menurut Versi Karo : Leluhur hidup dari menangkap ikan , bertani, berburu, berdagang , mengarungi samudra luas. Hal ini diceritakan bersambung hampir setiap malam di lantai lumbung padi yang dinamakan ‘Jambur’ dari purbakala hingga menjelang tahun 1940 di daerah yang penduduknya suku Karo .
Cerita yang bersambung mengenai seluk beluk asal muasal suku Karo , kebudayaan, bahasa dan adat istiadat serta perjuangan hidupnya biasanya di namakan ‘Turi- turin atau Terombo Karo’. Setiap cerita ditayangkan melalui lagu merdu pada malam hari sampai dini hari selama tujuh malam.
Aku dulu pernah mendengarkan cerita bersambung itu sebelum memasuki bangku sekolah. Karena sudah dilalui puluhan tahun, bisa jadi ada kelupaan dalam menguraikan inti sarinya, terutama pencocokan daerah kejadian saat dipergunakan pengetahuan umum geografi dan sejarah dunia atau nasional dalam keadaan tertentu menurut suasana hikayatnya.
Pada pokok hikayat di uraikan bahwa nenek moyang itu datang ke pesisir Indonesia umumnya dan Sumatera khususnya yang menurut logat mereka “reh ku pertibi si la ertepi enda” dari dua “negeri nini pemena” yaitu leluhur Pemula, datang dari dari negeri yang disebut “YUNA ( YUNAN )” ialah dari Cina Selatan dan Asia Tenggara serta “BARAT” yakni Asia Selatan (India , Pakistan, Banglades, dan lain- lain).
Yang datang dari negeri “Yuna” itu masih tergolong “animisme” atau “agama pemena”, sedangkan yang bersal dari “Barat” sudah beragama, yaitu agama Budha. Suku- suku bangsa pesisir yang saling bercampur darah (perkawinan) sesamanya inilah merupakan nenek moyang suku Karo setelah kelak masuk ke daerah pedalaman (Pembauran).
PEMUKIMAN DATARAN TINGGI KARO
Leluhur kita yang yang bermukim disepanjang pesisir Sumatera berkembang memeluk kepercayaan yang beraneka ragam yaitu animisme, Budha, Hindu, dan lain lain, sebelum maupun sesudah berdiri Negara Nasional I (Kedatuan Sriwijaya) dan Negara Nasional II (Keprabuan Majapahit) antara abat VII- XVI.
Leluhur kita yang yang bermukim disepanjang pesisir Sumatera berkembang memeluk kepercayaan yang beraneka ragam yaitu animisme, Budha, Hindu, dan lain lain, sebelum maupun sesudah berdiri Negara Nasional I (Kedatuan Sriwijaya) dan Negara Nasional II (Keprabuan Majapahit) antara abat VII- XVI.
Karena pekerjaan nenek moyang kita selaku kaum bahari dan pedagang, maka sudah jelas merekapun bergaullah dengan orang asing yang memeluk pelbagai agama, termasuk Muslim, sehingga kian lama makin banyaklah agama yang dianut penduduk.
Perbedaan agama pun tak dapat dihindahkan. Yang dalam turi- turi Karo diceritakan bahwa dalam satu keluarga mungkin terdapat dua atau atau beberapa kepercayaan yang berlainan, antara satu dengan yang lainnya. Begitu juga bangsa asing yang memeluk pelbagai macam agama datang ke Indonesia untuk berdagang sambil menyiarkan agamanya masing- masing. Selain membawa keagamaan juga mengenai kebudayaan yang mempengaruhi tata kehidupan pendududk.
Demikianlah seorang pedagang Venesia benama Marcopola pada tahun 1292 telah menyaksikan perkembangan pesat penyiaran agama Islam didaerah Aceh yaitu Samudera Pasai dan Peureulak. Pada tahun 1345, menutut Ibnu Batulah, sudah mapan benar agama Islam sebagai anutan penduduk Di Samudra Pasai, yang keterangannya ini diperkuat pula oleh musyapir Cina bernama Ceng Ho, yang berkunjung ke daerah tersebut tahun 1405.
Menurut versi karo, pada masa- masa itulah terjadi perubahan tata kemasyarakatan yaitu kaum yang tak hendak memeluk agama Islam membentuk kelompok – kelompok . Lalu berpindah ke daerah pedalaman meninggalakan sanak keluarga yang telah mayoritas beragama Islam. Kemudian agama Islam meluas berkembang sepanjang pesisir; terutama dalam pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607 – 1636).
Kemudian maka terjadilah apa yang dinamakan “Mburo Bicok Pertibin”, yaitu mengadakan pengungsian secara besar- besaran dengan bertekad untuk tidak akan kembali lagi ke negeri asal buat selama- lamanya. Diceritakan pada masa itu hutan raya di daerah pedalaman belum dihuni oleh manusia .
Bahasa “kita” ialah cakap melawi — , yang kemudian berubah seperti yang sekarang ini. Perubahan bahasa terjadi akibat peroses pembauran melalui puak- puak yang saling mempengaruhi satu dengan lainnya dalam kehidupan adalah logis. Sebagian mereka yang masuk kepedalaman dari arah pantai Timur maupun dari arah pantai Barat, pulau Sumatera.
Mereka yang tertinggal adalah sudah memeluk agama Islam dan hijrah tidak hendak memeluk Islam. Perjalanan memasuki rimba hutan belantara itu, sangat sukar, perlu ada pemimpin atau Panglimanya. Mereka masuk dan beranggapan bahwa ditempat yang dituju itu religinya/kepercayannya itu akan aman dilanjutkan sebagai warisan nenek moyangnya.
Diketahui dalam hikayat bahwa pemeluk Islam, selalu mangadakan pendekatan dengan saudara-saudaranya yang kini berada di wilayah pegunungan dan bergaul saling berkunjung, akhirnya, kaum yang tadinya mempertahankan kebiasaan memuja religi nenek moyangnya itu pelan-pelan ditinggal mereka dan mereka memeluk Islam. Atau diam- diam status quo, sementara menimbang- nimbang mana patut dilanjutkan dan mana patut diterima, atau ditolak.
Selanjutnya perjalanan yang sedemikian jauhnya yang disebut ke-dataran tinggi dinyatakan sebagi “taneh tumpah darah” yang baru kemudian di berikan nama “TANAH KARO SI MALEM”
PERTIBI PERTENDIN MERGA SI LIMA SI ENGGO KA REH IBAS DESA SI WALUH NARI
“Tanah Karo Si Malem” artinya : peryataan bahwa tanah tumpah darah yang baru itu nyaman, hidup atau mijati, akan dipertahankan selamanya. Pertibi Pertendin Merga Silima artinya: Dibata yang telah menetapkan daerah ini untuk pemukiman kaum yang LIMA MARGA terdiri dari : Karo- Karo , Ginting, Sembiring, Tarigan , Perangin- angin.
“Tanah Karo Si Malem” artinya : peryataan bahwa tanah tumpah darah yang baru itu nyaman, hidup atau mijati, akan dipertahankan selamanya. Pertibi Pertendin Merga Silima artinya: Dibata yang telah menetapkan daerah ini untuk pemukiman kaum yang LIMA MARGA terdiri dari : Karo- Karo , Ginting, Sembiring, Tarigan , Perangin- angin.
“Sienggo ka reh ibas desa siwaluhn nari” artinya: untuk jangka waktu yang lama tak henti- hentinya datang rombongan pengungsi dari segala penjurui mata angin (delapan penjuru) kedataran tinggi, sehingga menjadi buah bibir setiap ada rombongnan terlihat datang dari pesisir, terucaplah kata- kata, enggo ka reh… enggo kalakreh enggo kalakreh…( Kareh ) kemudian berubah sebutannya kalak reh, kareh … kare, Karo , menjadi … KARO, yang artinya kalak= orang . reh = datang, Karo = orang datang.
Artinya menjadi; orang yang datang sengaja mengungsi untuk mempertahankan religinya/ kepercayaaannya. Mereka datang dan mengharukan, sebab perjalan mereka itupun jauh, lebih kita terharu, KALAK AROE = KARO Mereka itu melanglang, berani, harus keras hati, mandiri, budi luhur tetapi suka bermusyawarah dan mau menerima atau tidak kaku.
Terlihat dalam perkembangannya Merga Karo- Karo, Perangin-angin , Sembiring sebelum berangkat meninggalkan leluhurnya di “Barat” tempo dulu sudah memiliki Indentitas berupa Merga dan Cabang Merga ,seperti Merga Ginting dan Merga Tarigan bersasal dari YUna (Wilayah Selatan ; bahkan ada hubungan atas serangan Mongolia dari utara Jengis Khan dsb).
Jatidiri berupa “Merga” telah disandang turun temurun. Oleh karena itu sekalipun kelompok itu baru tiba akan mendapat kemudahan untuk mengelompokkannya sesuai Merga yang disebutkan orang yang baru datang. Di Suku Karo hanya ada LIMA MARGA, dan memiliki cabang untuk setiap marga. Sekalipun ada cabang-cabang tiap Marga, tapi tidak terlalu banyak, tidak mencapai ratusan jumlahnya keseluruhannya. Keseluruhan cabang Merga Silima hanya ada 75 cabang.
Meneliti sejarah maka pemukiman orang Karo di dataran tinggi diperkirakan pengungsian awal sekitar tahun 1350-an dan terbanyak tatkala pemerintahan Sultan Iskandar Muda tahun 1660-an sehingga disimpulkan bahwa sudah ada orang Karo tahun 1300-an.
Orang Karo yang datang dengan rombongan tepo dulu ke hutan rimba raya tidaklah besar, sekalipun persyaratannya berangkat “KUH SANGKEP SITELU ” yaitu Kalimbubu,Senina, Anak Beru . Contohnya dalam cerita bahwa rombongan KARO mergana , berangkat dari LINGGA RAJA menuju dataran tinggi, sampailah di puncak “Deleng Penolihen” yaitu pegunungan antara “Tiga Lingga – Tiga Binanga” terpaksa di tunda perjalannya. Sekalipun jumlah rombongan sebelas, tetapi tertinggal anak beru-nya Perangin- angin mergana. Terpaksa di jemput lagi kearah asal atau memberi gantinya sebagai “anak beru”.
Terpenuhilah syarat tadi , tiba mereka disuatu lokasi dan mendirikan “KUTA LINGGA PAYUNG”. Sejak itu nama bukit barisan diantara Karo – Dairi disebutkan oleh orang Karo “Deleng Kuh Sangkep”. Setiapa orang Karo mesti dapat dimasukkan dalam salah satu diantara lima marga tersebut diatas, sebab barang siapa yang yang tidak hendak memakai indentitas demikian, tidak akan diakui sebagai “Kalak Karo” yang dinamakan “nasap tapak nini”, misalnya, banyak dahulu terjadi orang yang “tercela ahlaknya ” di desanya lalu merantau ke-negeri lain tanpa mejunjujung tinggi merganya atau menggantinya, orang yang memeluk agama Islam dengan menghilangkan indentitasnya itu seraya mengaku orang Melayu kampung atau “kalak Maya- Maya” terutama di Karo Jahe ” dan lain- lain .
Tetapi sebaliknya setelah terbentuk SUKU KARO, dahulu ada orang dari suku lain sekalipun yang oleh sebab misalnya, mengadakan perkawinan dengan orang Karo bisa diterima Bermerga atau memiliki Beru pada salah satu merga diantara yang lima tersebut. “Merga” ialah indentitas pria yang diturunkan terhadap putrinya akan dinamakan “beru”. Beru adalah indentitas wanita yang diturunkan terhapa putra – putrinya umpamanya , beru Karo, diturunkan kepada putra putrinya dengan sebutan bere- bere Karo.
Semua indentistas tersebut merupakan lambang suci yang dalam bahasa Karo dinamakan “Tanda Kemuliaan” yang gunanya untuk menghitung berapa tingkat keturunan telah berlangsung merga bersangkutan hingga dirinya sendiri sejak dari nenek moyang yang dahulu berangkat dari negeri asalnya ” yaitu (Barat) bagi keturunan Karo- Karo , Perangin- angin dan Sembiring, sedangkan “Yuna” untuk Ginting serta Tarigan.
Hitungan jumlah tingkat keturunan itu dinamakan “Beligan Kesunduten Nini Adi” yang dahulu turun temurun diceritakan sehingga tahulah sesorang akan asal usul dan nenek moyangnya. Putra-Putri yang seketurunan pantang mengadakan kawin mawin sesmanya, sebab indetitasnyaq akan sama buat selama- lamanya, kendatipun dengan memakai “Sub Merga”,yaitu “nama khusus ” yang diciptakan berdasarkan keluarga tertentu dalam suatu desa dan atau sesuatu peristiwa dahulu yang merupakan aliran darah khas pula ,namun harus tunduk kepada pokok merga ,Merga Silima.
Jadi orang Karo terbentuk dari bermacam- macam suku atau puak bangsa yang oleh pengaruh lingkungan daerahnya membentuk watak, adat istiadat dan masyrakatnya yang tertentu yang mempunyai perasamaan serta perbedaaan dengan suku- suku bangsa Indonesia lainnya, namun bersifat “mandiri” dalam arti sejak dahulu bebas merdeka mengatur pemerintahannnya.
Akan tetapi karena Tanah karo merupakan daerah pedalaman yang tidak akan dapat berswasembada dalam segala hal akan kebutuhan hidupnya, maka terpaksa jugalah mereka mengadakan hubungan dengan “suku” atau “bangsa lain” terutama mengenai bahan makanan seperti garam yang disebut “Sira”
Mereka langsung menyebarkan penduduknya keluar batas dataran tinggi karo yang berguna sebagai daerah pengubung dan penyangga serangan dari luar yang menurut logat mereka dinamakan “Negeri Perlanja Sira Ras Pulu Dagang ” yang kini daerah- daerah tersebut ialah Aceh Tenggara , Dairi, Tapanuli Utara, Simalungun, Asahan, Deli Serdang, dan Langkat.
Pulu dagang ialah pedagang yang membeli garam dan lain lain di pesisir seperti di Langkat, Deli Serdang, Asahan , dan Singkel yang di angkut ke ‘Taneh Pengolihen – Tanah Karo ” oleh satu rombongan manusia yang diberi nama julukan Perlanja Sira, meski ada juga mempergunakan “Kuda Beban” sebagai alat pengangkutannya. Setiap rombongan perlanja Sira dikawal oleh pasukan bersenjata, sebab waktu itu di Deleng Kuh Sangkep (nama bukit barisan yang terletak di bagaian selatan Tanah Karo) maupun di Deleng Merga Silima (nama Bukit Barisan dibagian datyaran tinggi Karo) banyak penyamun serta binatang buas.
Untuk nmengenal kawan dipailah kata “sandi atau kode” di pegunungan sebelah utara tanah Karo setiap berpapasan dengan rombongan manusia lain diucapkan “Merga” yang kalu kawan menjawab..”Si Lima” yang dilanjutkan dengan. Taneh Pengolihen yang dijawab teman “Karo Simalem” bila mana tidak sesuai jawabnya dianggap “musuh”, demikian sekelumit ceritanya maka nama pegunungan yang puncak- puncaknya antara lain gunung Sinabung- Sibayak dinamakan orang Karo deleng Merga silima.
Langganan:
Postingan (Atom)