Jumat, 06 September 2013
Kita terlebih dahulu diajak kembali kira-kira 100 tahun yang lalu. Kondisi kehidupan masyarakat Karo pada saat itu masih cukup sederhana dalam segala aspek. populasi penduduk belum ramai, perkampungan masih kecil, ada dua atau tiga rumah adat waluh jabu ditambah beberapa rumah sederhana satu dua. Kalau sudah ada sepuluh rumah adat baru dapat dikatakan perkampungan tersebut ramai.Sarana dan prasarana jalan belum ada, hanya jalan setapak yang menghubungkan satu kampung dengan kampung yang lain. Kegiatan ekonomi dan perputaran uang hanya baru sebagian kecil saja. Hanya pedagang yang disebut dengan “Perlanja Sira” yang sesekali datang untuk berdagang secara barter (barang tukar barang)Pekerjaan yang dilakukan hanyalah ke sawah dan ke ladang (kujuma kurumah), ditambah menggembalakan ternak bagi pria dan menganyam tikar bagi wanita. Pemerintahan yang ada hanya sebatas pemerintahan desa. Kepercayaan yang ada adalah aninisme, dina-misme yang disebut “perbegu”. Alat dapur yang dipakai masih sangat sederhana, priuk tanah sebagai alat memasak nasi dan lauk pauknya, walau ada juga yang telah memasak dengan priuk gelang-gelang atau priuk tembaga/besi, tempat air kuran.Namun demikian kehidupan berjalan terus, meneruskan generasi di_laksana_kan dengan orang yang sudah dianggap dewasa berkeluarga, dikatakan dewasa bagi seorang pria adalah ketika dia telah dapat membuat ukat, kuran atau membuka ladang, bagi wanita telah dapat menganyam tikar dan memasak nasi dan lauk pauk.Proses Pernikahan
Anak Perana yang ingin menikah terlebih dahulu mencari seorang singuda-nguda, yang dianggapnya cocok, tidak sumbang, tetapi harus sesuai dengan adat Karo. Melakukan komunikasi melalui perantaraan, sampai ada kesediaan siwanita menerima kehadirannya.
Jika sudah saling menyukai, diteruskan dengan membawa siwanita “Nangkih” ke rumah anak beru si pria. Sebagi tanda melalui perantara diberikan ‘Penading” kepada orang tua si wanita. Orang tua si wanita seolah-olah kaget menerimanya, seakan mereka tidak tahu dan tidak menyetujuinya, dan seterusnya. Namun demikian dua atau tiga hari kemudian beberapa orang ibu-ibu menemani ibu si wanita menghantarkan nasi/makanan kepada anaknya. Melakukan pembicaraan dengan pihak pria mengenai kelanjutannya, dan seterusnya.
Setelah dilakukan pembicaraan dengan yang baik antara kedua belah pihak, selanjutnya pihak pria mendatangi pihak keluarga si wanita bersama sembuyak, senia dan anak berunya, demikian pula pihak wanita bersama sembutyak, senina dan anak berunya telah bersiap menyambut kedatangan pihak pria. Yang datang terbatas, cukup membawa satu atau dua ekor ayam untuk dugulai dan beras secukupnya. Biasanya malam setelah selesai makan dilaksanakan pembicaraan atapun musyawarah (runggu) isinya hanya satu yaitu meminta kesediaaan dengan senang hati dari orang tua si wanita dalam keinginan anaknya menikah, tentunya ikut juga dukungan dari anak beru, bila sudah bersedia dan dengan senang hati orang tua siwanita (kalimbubu) acara tersebut telah selesai. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, keesokan harinya pihak si pria beserta kedua calon pengantin dapat langsung pulang.
Biasanya acara ini dilaksanakan pada saat pekerjaan tidak begitu sibuk, padi telah dipanen sekali. Pembicaraan ini harus dihadiri lebih lengkap dan lebih penting. Singalo bere-bere harus dipanggil, lengkap sangkep ngeluh. Makanan lebih banyak dibawa (boleh kambing atau babi), tidak lagi hanya ayam. Melihat bentuk pertemuan dan kesanggupan dan kehormatan pihak yang datang. Waktunya boleh malam hari atau pagi menjelang siang hari. Banyaknya yang hadir kira-kira memenuhi rumah adat ataupun sekitar 2 -3 kaleng beras untuk dimasak. Dalam acara ini yang dibicarakan adalah mengenai pelaksanaan pesta adat, kapan waktunya, berapa yang harus ditanggung dan berapa utang adat yang harus dibayarkan. Tingkatan Pesta ada tiga pilihan yaitu Singuda pesta adatnya dilakukan dirumah saja, Sintengah bila kumpul seluruh sanak family, Sintua, bila ditambah pengantin rose, (berpakaian adat lengkap) bergendang (musik tradisional) dan memotong lembu atau kerbau. Tanggungan pihak pengantin pria, seperti pembayaran utang adat tentunya disesuaikan dengan tingkatan pestanya adatnya. Dikarenakan telah didapat kesepakatan untuk melaksanakan pesta adat, maka ditanyalah kalimbubu singalo bere-bere, apa yang akan menjadi hadiah perkawinan (luah/pemberian) yang akan diserahkan sebagai tanda restu kepada beberenya yang akan menikah.
Ini adalah tahapan terakhir mensyahkan telah diselesaikan adat pernikahan. Telah syah menjadi satu keluarga yang baru. Semua akan berkumpul pada pesta adat seperti yang telah disepakati bersama. Dahulu tempat pesta tidak ada dirumah pasti tidak muat jadi pesta dilaksanakan di tempat lapang atau dibawah kayu rindang. Bila pada saat pesta panas terik maka anak beru kedua belah pihak akan mendirikan tempat berteduh yang terbuat dari kayu, daun rumbia atau daun/pelepah kelapa. Tikar tempat duduk dan kayu bakar telah dipersiapkan oleh pihak siwanita. Dikarenakan pada saat itu fasilitas apapun tidak ada, maka diminta kepada penduduk desa untuk memasak makanan, masing-masing 2-3 tumba berikut dengan sumpitnya (tempat nasi) dan membawanya ketempat pesta dilaksanakan. Lauk pauk (daging) langsung dibagi lima, dua bagian untuk pihak pria, dua bagian untuk pihak wanita dan satu bagian untuk singalo bere-bere. Jadi jelaslah bagi kita bahwa ketiga komponen inilah yang berperan penting. Sukut si empo (pihak pria) bersama sangkep nggelunya, begitu juga pihak wanita. Tidak ketinggalan singalo bere-bere bersama sangkep nggeluhnya inilah yang disebut dengan Kalimbubu Si Telu Sedalanen (hal ini akan kita bicarakan dilain waktu)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar